Blog

  • Brucellosis

    Brucellosis

    Brucellosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Brucella. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala demam, nyeri sendi, dan mudah lelah, yang bisa berlangsung dalam hitungan minggu sampai bulan.

    Brucellosis merupakan penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Bakteri Brucella bisa masuk melalui mata, kulit, selaput lendir, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan, kemudian bertahan hidup di dalam sel-sel tubuh.

    Bakteri Brucella bisa berpindah dari satu organ menuju organ lain melalui aliran darah dan getah bening. Akibatnya, infeksi yang muncul bisa meluas hingga ke bagian tubuh lain.

    Penyebab Brucellosis

    Bakteri Brucella yang menjadi penyebab brucellosis dapat ditemukan di berbagai jenis hewan, seperti sapi, kambing, domba, babi, babi hutan, anjing pemburu, rusa, bison, dan unta. Seseorang dapat tertular brucellosis melalui berbagai cara, seperti:

    • Menghirup udara yang terkontaminasi bakteri Brucella
    • Mengkonsumsi produk yang masih mentah atau setengah matang, seperti daging sapi, susu, atau keju, dari hewan yang terinfeksi bakteri Brucella
    • Menyentuh darah, sperma, atau cairan tubuh dari hewan yang terinfeksi bakteri Brucella, terutama jika cairan tubuh tersebut masuk ke aliran darah melalui luka terbuka

    Brucellosis umumnya tidak menyebar antarmanusia. Namun, pada kasus tertentu, ibu hamil dan ibu menyusui yang terkena brucellosis dapat menurunkan penyakit ini ke anaknya. Meski jarang terjadi, brucellosis juga bisa menular melalui hubungan seks, dan transfusi darah atau transplantasi organ yang telah terkontaminasi bakteri Brucella.

     

    Faktor risiko brucellosis

    dapat terjadi pada siapa saja, tetapi risiko terserang penyakit ini akan lebih tinggi pada orang dengan faktor berikut:

    • Memiliki daya tahan tubuh lemah
    • Mengunjungi wilayah yang banyak terdapat kasus brucellosis
    • Bekerja sebagai petani, peternak, pemburu hewan, tukang jagal, dokter hewan, atau bekerja di laboratorium mikrobiologi

    Gejala Brucellosis

    Gejala bisa muncul dalam hitungan hari atau bulan setelah terinfeksi. Gejalanya bisa serupa seperti gejala flu, yaitu:

    • Demam
    • Batuk
    • Menggigil
    • Mudah lelah
    • Sakit perut
    • Sakit kepala
    • Sakit punggung
    • Nyeri otot dan sendi
    • Berat badan menurun
    • Hilang nafsu makan
    • Berkeringat di malam hari

    Gejala bisa hilang dalam beberapa minggu atau bulan, tetapi bisa kambuh. Pada sebagian orang, gejala bisa berlangsung bertahun-tahun (kronis), meskipun telah diobati.

    Gejala kronis yang dapat terjadi antara lain:

    • Demam berulang
    • Nyeri sendi
    • Buah zakar bengkak
    • Kelelahan
    • Depresi
    • Pembengkakan di hati atau limpa

    Kapan harus ke dokter

    Gejala akan sulit dikenali, terutama pada tahap awal. Oleh sebab itu, penderita brucellosis kerap menganggap bahwa keluhan yang dialaminya adalah gejala flu biasa.

    Oleh karena itu, segera periksakan diri ke dokter jika muncul demam tinggi secara tiba-tiba yang disertai nyeri otot dan tubuh mudah lelah, terutama bila Anda baru saja mengkonsumsi produk hewani yang masih mentah atau melakukan kontak fisik dengan hewan yang diduga terinfeksi.

    Tetap lakukan pemeriksaan ke dokter jika Anda melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi meski Anda tidak mengalami gejala apa pun. Dokter akan memantau kondisi Anda minimal selama 6 bulan.

    Diagnosis Brucellosis

    Dokter akan melakukan tanya jawab terkait gejala yang dialami pasien, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Selanjutnya, dokter akan mengambil sampel darah dan sampel cairan tulang belakang pasien untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang terkait dengan brucellosis.

    Guna memeriksa apakah pasien telah mengalami komplikasi, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan berikut:

    • Foto Rontgen, untuk melihat apakah ada perubahan di tulang dan sendi
    • CT scan atau MRI, untuk memeriksa apakah ada abses (kumpulan nanah) atau peradangan di otak dan jaringan tubuh yang lain
    • Ekokardiografi, untuk mendeteksi infeksi atau kerusakan di jantung
    • Pemeriksaan cairan otak (serebrospinal), untuk memeriksa tanda-tanda radang otak dan meningitis

    Pengobatan Brucellosis

    Pengobatan bertujuan untuk meredakan gejala, mencegah infeksi kambuh, dan menurunkan resiko terjadinya komplikasi. Dokter biasanya akan meresepkan doxycycline dengan rifampisin untuk dikonsumsi selama minimal 6 minggu. Jenis antibiotik lain yang dapat diresepkan di antaranya:

    • Sulfamethoxazole
    • Streptomycin
    • Ciprofloxacin
    • Tetracycline
    • Aminoglycoside
    • Chloramphenicol

    Perlu diketahui, terdapat 5–15% kasus brucellosis yang kambuh meski sudah diobati. Biasanya, infeksi kembali terjadi 6 bulan setelah pengobatan dan dapat berlangsung dalam jangka panjang (kronis).

    Komplikasi Brucellosis

    Brucellosis bisa berdampak ke hampir semua bagian tubuh, seperti sistem saraf pusat, sistem reproduksi, dan hati. Jika berlangsung dalam jangka panjang, brucellosis dapat menyebabkan komplikasi pada satu atau beberapa organ, seperti:

    • Infeksi di lapisan bagian dalam dinding jantung (endokarditis)
    • Infeksi dan pembengkakan di organ limpa dan hati
    • Radang sendi (artritis), terutama di lutut, panggul, tulang belakang, serta pergelangan kaki dan tangan
    • Radang dan infeksi di saluran kelamin dan testis pada pria (epididymo-orchitis)
    • Infeksi pada sistem saraf pusat, seperti radang selaput otak (meningitis) dan radang otak (ensefalitis)
    • Keguguran dan cacat lahir

    Pencegahan Brucellosis

    Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terserang Brucellosis , yaitu:

    • Masak daging sampai benar-benar matang.
    • Jangan mengkonsumsi produk olahan susu yang tidak dipasteurisasi.
    • Gunakan sarung tangan karet, kacamata pelindung, dan pakaian pelindung, bila hendak melakukan kontak dengan hewan.
    • Pastikan hewan ternak dan hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi
  • Flu burung

    Flu burung

    Flu burung (bahasa Inggris: avian influenza, disingkat AI) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza yang telah beradaptasi untuk menginfeksi burung. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi karena membunuh ternak ayam dalam jumlah besar. Terkadang mamalia, termasuk manusia, dapat tertular flu burung

     

    Penyebab

    Flu burung disebabkan oleh virus influenza A dari genus Alpha Influenza Virus, family Orthomyxoviridae. Ia tergolong dalam grup V dalam klasifikasi Baltimore, yaitu virus dengan RNA utas tunggal negatif. Terdapat tujuh genus dalam famili Orthomyxoviridae, empat di antaranya adalah virus influenza, yaitu:

     

    Subtipe

    Virus influenza A memiliki beberapa protein pada permukaannya, di antaranya protein hemaglutinin (disingkat H atau HA) serta protein neuraminidase (disingkat NA atau N). Kombinasi jenis protein H dan protein N akan menentukan sifat dan penamaan subtipe virus influenza, misalnya H5N1. Hingga tahun 2019, telah ditemukan 18 jenis hemaglutinin (H1 sampai H18) dan 11 jenis neuraminidase (N1 sampai N11), tetapi hanya subtipe H1–H16 dan N1–N9 yang diidentifikasi dari virus yang menginfeksi burung. Sementara itu, ada dua subtipe yang diketahui tidak menginfeksi burung, yaitu H17N10 dan H18N11, yang keduanya diisolasi dari kelelawar

     

    Patogenisitas

    Berdasarkan kemampuannya menimbulkan penyakit, flu burung dibagi menjadi dua jenis, yaitu flu burung dengan patogenisitas tinggi (HPAI) yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, dan flu burung dengan patogenisitas rendah (LPAI) yang menyebabkan penyakit dengan tanda klinis yang ringan.

    Sebagian besar virus flu burung memiliki patogenisitas yang rendah (LPAI). Namun, beberapa beberapa di antara mereka mengalami mutasi genetik sehingga berubah menjadi HPAI. Secara alami, kasus HPAI disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5 atau H7. Walaupun demikian, mayoritas virus subtipe H5 dan H7 tergolong LPAI. Penentuan tingkat patogenisitas virus influenza A didasarkan pada karakteristik molekuler serta kemampuannya menimbulkan penyakit dan kematian pada ayam pada kondisi laboratorium, bukan berdasarkan beratnya derajat penyakit yang ditimbulkan pada manusia.

    Isolat virus flu burung digolongkan sebagai HPAI jika:

    • Saat diinokulasi secara intravena terhadap minimum delapan ekor anak ayam peka berumur 4–8 minggu akan menyebabkan lebih dari 75% kematian dalam waktu 10 hari;
    • Saat diinokulasi terhadap 10 ekor anak ayam peka berumur 6 minggu menghasilkan indeks patogenisitas intravena (IVPI) lebih dari 1,2; atau
    • Isolat virus H5 dan H7 yang memiliki nilai IVPI tidak lebih dari 1,2 atau tidak menimbulkan 75% kematian pada uji letalitas intravena harus diurutkan (sekuensing) untuk menentukan apakah terdapat beberapa asam amino basa di lokasi pembelahan molekul hemaglutinin (HA0). Jika urutan asam aminonya mirip dengan isolat HPAI lainnya, maka isolat tersebut dianggap HPAI.

    Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mendefinisikan kasus flu burung sebagai infeksi pada unggas yang disebabkan oleh: (1) Virus influenza A dengan patogenisitas tinggi (HPAI), dan (2) Virus influenza A subtipe H5 dan H7 dengan patogenisitas rendah (H5/H7 LPAI). Definisi ini dibuat sebagai batasan untuk kasus flu burung yang wajib dilaporkan kepada OIE. Oleh karena itu, flu burung patogenisitas rendah (LPAI) yang penyebabnya bukanlah subtipe H5 atau H7 tidak perlu dilaporkan kepada OIE

    Nomenklatur dan klad

    Isolat virus influenza A subtipe H5 dapat dikelompokkan lebih lanjut menjadi beberapa klad dan diberi nama berdasarkan sistem nomenklatur yang standar. Standar pemberian nama ini meliputi jenis virus (misalnya A, B, atau C), asal spesies (misalnya canine, equine, chicken atau swine; identitas ini tidak dituliskan jika virus berasal dari manusia), asal lokasi geografis (misalnya Taiwan atau Vietnam), nomor strain (misalnya 1 atau 134), tahun isolasi (misalnya 2003), serta jenis antigen H dan N yang ditulis dalam tanda kurung apabila virus tersebut merupakan virus influenza A. Contoh:

    • A/chicken/Pekalongan/BBVW308/2007(H5N1)
    • A/chicken/Scotland/59(H5N1)

    Klad merupakan kelompok taksonomi berupa gambaran pohon kladistika untuk mengetahui hubungan kekerabatan. Penetapan klad virus flu burung dilakukan dengan pengurutan antigen H5, yang kemudian dikelompokkan dan diberi kode berupa angka. Sebagai contoh, hingga tahun 2008, semua virus H5N1 di Indonesia digolongkan dalam klad 2.1 dengan tiga keturunan, yaitu 2.1.1, 2.1.2, dan 2.1.3. Virus klad 2.1.3 selanjutnya menyebar di banyak daerah di Indonesia. Pada bulan September 2012, isolat virus subtipe H5 dari bebek di Jawa Tengah dilaporkan berhubungan erat dengan klad 2.3.2.1 yang sebelumnya baru ditemukan di Vietnam, Tiongkok, dan Hong Kong. Situs web Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyediakan gambaran lengkap pohon kladistika virus flu burung subtipe H5.

    Sifat alami dan perubahan antigen

    Kelangsungan hidup virus di lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jumlah virus, temperatur, paparan sinar matahari, keberadaan materi organik, pH dan salinitas (jika virus di air), serta kelembaban relatif (pada permukaan padat atau tinja). Virus influenza A rentan terhadap berbagai jenis desinfektan, di antaranya natrium hipoklorit, etanol 60–90%, senyawa amonium kuartener, aldehid, fenol, asam, dan iodin povidon, juga bisa diinaktivasi dengan pemanasan 56–60 °C selama minimum 60 menit serta oleh radiasi ionisasi atau pH ekstrim (pH 1–3 atau pH 10–14).

    Virus flu burung terus berubah dengan konstan. Ada dua cara mereka untuk berubah:

    • Antigenic drift, yaitu ketika gen virus influenza mengalami perubahan-perubahan kecil seiring dengan waktu saat virus bereplikasi. Perubahan genetik yang kecil ini akan terakumulasi perlahan-lahan sehingga sifat antigeniknya berbeda dan tidak dikenali lagi oleh sistem kekebalan tubuh. Hal ini menyebabkan komposisi vaksin influenza perlu ditinjau secara berkala agar dapat mengimbangi laju perubahan virus.
    • Antigenic shift, yaitu ketika terjadi perubahan gen yang besar dan mendadak yang menghasilkan jenis protein H yang baru dan/atau kombinasi protein H dan N yang baru. Kebanyakan individu tidak memiliki kekebalan terhadap virus influenza yang baru ini sehingga menyebabkan terjadinya wabah penyakit yang luas.

     

    Spesies peka

    Virus influenza dapat menyerang berbagai spesies hewan dan penyakitnya diberi nama sesuai dengan jenis hewan yang diinfeksi, misalnya flu burung, flu babi, flu kuda, dan flu anjing. Mutasi genetik memungkinkan terjadinya infeksi silang antarspesies.

    Burung liar akuatik diduga merupakan reservoir alami virus flu burung. Virus flu burung telah diisolasi pada lebih dari 100 spesies burung liar, yang sebagian besar infeksinya disebabkan oleh virus LPAI. Infeksi umumnya ditemukan pada ordo Anseriformes (seperti bebek dan angsa) serta dua famili pada ordo Charadriiformes atau burung wader, yaitu familia Laridae (seperti burung camar) serta famili Scolopacidae (seperti burung trinil).Burung-burung yang telah didomestikasi, baik unggas (seperti ayam dan kalkun) maupun unggas air (bebek dan angsa) peka terhadap serangan virus flu burung

     

    Kejadian penyakit

    Kasus pada hewan

    Flu burung pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 di Italia. Awalnya, penyakit ini disangka sebagai kolera unggas bentuk akut dan septisemik. Virusnya sendiri belum diidentifikasi dan diklasifikasikan sebagai virus influenza hingga 1955. Sebelum dikenal sebagai flu burung, penyakit ini diberi nama pes unggas (fowl plague).

    Pada Simposium Internasional Flu Burung yang pertama pada tahun 1981, istilah HPAI mulai digunakan menggantikan pes unggas untuk menggambarkan bentuk flu burung yang sangat virulen. Istilah LPAI mulai digunakan pada tahun 2002 pada simposium yang kelima.

    Virus flu burung ditemukan di seluruh dunia dengan laporan isolasi dari benua Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa. Bukti serologis infeksi pada penguin di Antartika juga telah ditemukan

    Kasus pada manusia

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sejumlah kasus flu burung pada manusia. Manusia dapat terinfeksi virus influenza A subtipe H5N1, H7N9, dan H9N2. Infeksi flu burung pada manusia pertama kali ditemukan di Hong Kong pada tahun 1997 dengan jumlah kasus 18 orang dan 6 diantaranya meninggal dunia. Temuan infeksi pada manusia selanjutnya dilaporkan di Tiongkok, Vietnam, Thailand, Kamboja, lalu Indonesia

     

    Cara penularan

    Hewan

    Flu burung ditularkan melalui kontak langsung antara burung terinfeksi dengan burung sehat. Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi, seperti pakaian, sepatu, kendaraan, maupun peralatan kandang. Partikel virus flu burung ditemukan pada sekresi dari hidung, mulut, dan mata; kotoran; serta permukaan luar telur yang dihasilkan oleh burung terinfeksi.

    Flu burung tidak termasuk penyakit yang menular melalui udara. Penularan dari satu peternakan ke peternakan lain terjadi melalui perpindahan unggas, produk unggas, orang, dan kendaraan yang digunakan untuk transportasi. Ketahanan virus dalam kotoran burung bergantung pada jumlah virus, suhu, dan kelembaban. Secara umum, virus lebih cepat mati jika suhu semakin tinggi dan tinja semakin kering

    Manusia

    Meskipun tidak biasa bagi manusia untuk terinfeksi virus influenza A langsung dari hewan, infeksi secara sporadik yang disebabkan oleh virus flu burung dan virus flu babi telah dilaporkan. Sebagian besar kasus influenza A pada manusia (H5N1 dan H7N9) diasosiasikan dengan kontak dengan unggas terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi. Bukti epidemiologis dan virologis menunjukkan bahwa virus tidak mampu menular dari manusia ke manusia. Beberapa ilmuwan berpendapat perbedaan reseptor virus pada sel manusia dan sel burung menyebabkan virus flu yang spesifik menginfeksi burung memiliki kemungkinan kecil menginfeksi manusia

     

    Manifestasi klinis

    Hewan

    Flu burung menyebabkan beragam manifestasi klinis bergantung pada jenis virus yang menginfeksi, jenis dan umur hewan terinfeksi, hingga faktor lingkungan. Virus HPAI mampu menyebabkan kematian mendadak sedangkan virus LPAI tidak menimbulkan tanda klinis atau hanya menyebabkan tanda klinis yang ringan. Tanda klinis yang sering ditemukan antara lain gangguan sistem pernapasan seperti leleran dari hidung dan mata, batuk, kesulitan bernapas (dispnea), pembengkakan sinus dan/atau kepala, penurunan nafsu makan dan minum, sianosis pada kulit yang tak berbulu, pial, dan jengger, diare, hingga inkoordinasi dan gangguan saraf. Pada ayam petelur, dapat terjadi penurunan produksi dan kualitas telur. Menurut OIE, masa inkubasi flu burung adalah 21 hari

     

    Diagnosis

    Hewan

    Identifikasi virus dilakukan untuk mengonfirmasi kasus klinis pada hewan, menilai bebasnya individu dari infeksi sebelum dilalulintaskan, menilai bebasnya populasi dari infeksi, dan serta mengetahui prevalensi infeksi dalam rangka surveilans penyakit. Metode uji yang dilakukan dapat berupa reaksi berantai polimerase transkripsi-balik (RT-PCR), isolasi virus, dan deteksi antigen. Sementara itu, untuk mendeteksi respons kekebalan tubuh, misalnya memeriksa status kekebalan pasca vaksinasi, uji hemaglutinasi inhibisi (untuk H5 atau H7), ELISA, dan imunodifusi gel agar (AGID; untuk influenza A) dapat digunakan.

    Diagnosis banding untuk flu burung pada unggas adalah penyakit Newcastle (ND), laringotrakeitis infeksius (ILT), bronkitis infeksius (IB), kolera unggas, dan infeksi Escherichia coli

     

    Manusia

    Berdasarkan WHO dan sesuai dengan situasi serta kondisi di Indonesia, kasus flu burung pada manusia diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu: (1) seseorang dalam investigasi; (2) kasus suspek; (3) kasus probabel; dan (4) kasus konfirmasi.

    Kasus konfirmasi adalah seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel dan disertai satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium influenza yang hasil pemeriksaan H5N1-nya:

    • Hasil PCR H5 positif,
    • Peningkatan ≥ 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil ≤ 7 hari setelah muncul gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula ≥ 1/80,
    • Isolasi virus H5N1, atau
    • Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 ≥ 1/80 pada spesimen serum yang diambil hari ke ≥ 14 setelah ditemukan penyakit, disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda ≥ 1/160 blot Western spesifik H5 positif.

     

    Pencegahan

    Flu burung dapat dicegah dengan pemberian vaksin, penerapan biosekuriti, pengendalian lalu lintas media pembawa virus influenza A, pemusnahan unggas secara selektif (depopulasi) di daerah tertular, dan pemusnahan unggas secara menyeluruh di daerah tertular baru.Orang yang sehari-hari bekerja dengan unggas atau orang yang merespons wabah flu burung disarankan mengikuti prosedur biosekuriti dan pengendalian infeksi, seperti menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dan memperhatikan higiene tangan

    Pengobatan 

    Pengobatan untuk menangani flu burung bisa berbeda-beda, tergantung pada gejala yang dialami. Pasien yang telah terdiagnosa flu burung akan dirawat di ruang isolasi di rumah sakit untuk mencegah penularan pada pasien lain.

    Obat-obatan antivirus merupakan obat utama yang digunakan untuk mengatasi flu burung. Beberapa obat antivirus yang biasanya diberikan adalah:

    • Oseltamivir
    • Peramivir
    • Zanamivir
    • Amantadine
    • Rimantadine

    Obat antivirus dapat meredakan gejala, mencegah komplikasi, dan meningkatkan peluang pasien untuk sembuh. Obat ini perlu dikonsumsi secepatnya dalam waktu 2 hari setelah gejala muncul.

    Selain untuk pengobatan, obat antivirus tersebut juga bisa digunakan sebagai obat untuk mencegah flu burung. Oleh karena itu, obat ini terkadang diberikan kepada orang yang melakukan kontak langsung dengan pasien, seperti para petugas medis yang menangani pasien, atau anggota keluarga dan kerabat pasien.

    Jika pasien mengalami gangguan napas yang cukup parah, seperti hipoksemia, dokter akan memasangkan alat bantu nafas dan ventilator untuk membantu mengatasinya.

    Komplikasi 

    Beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh penderita flu burung adalah:

    • Pneumonia
    • Sepsis
    • Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
    • Kegagalan organ, misalnya gagal jantung dan gagal ginjal
    • Kematian

    Pencegahan 

    Cara terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah infeksi flu burung adalah dengan mencegah paparan virus. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:

    • Mencuci tangan secara rutin atau menggunakan hand sanitizer ketika tidak ada air dan sabun
    • Menghindari masakan mentah atau setengah matang, termasuk daging merah, daging unggas, dan telur
    • Menghindari konsumsi susu yang belum menjalani proses pasteurisasi
    • Menggunakan alat pelindung diri ketika harus kontak dengan hewan yang sakit atau mati, termasuk hewan peliharaan
    • Tidak mengunjungi daerah atau tempat terjadinya wabah flu burung
    • Mengenakan alat pelindung diri sesuai standar jika bekerja di peternakan unggas

    Sampai saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah flu burung. Untuk menurunkan risiko terinfeksi penyakit ini, vaksinasi flu tahunan dapat diberikan kepada orang yang kontak erat dengan unggas, misalnya peternak unggas dan dokter hewan.

  • Rabies

    Rabies

    Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit akibat infeksi virus rabies yang menimbulkan radang otak pada mamalia, termasuk manusia. Penyakit ini sangat mematikan dan bersifat zoonotik atau menular dari hewan ke manusia. Penularan terjadi saat partikel virus yang berada dalam air liur hewan terinfeksi—seperti anjing, kucing, monyet, kelelawar, dan rakun—berhasil masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan peka lainnya, misalnya melalui gigitan atau cakaran, atau saat air liur tersebut mengenai mata, mulut, hidung, atau kulit yang terluka. Jangka waktu antara paparan virus dan timbulnya gejala biasanya berkisar dari satu hingga tiga bulan, tetapi dapat bervariasi dari kurang dari satu minggu hingga lebih dari satu tahun, tergantung pada jarak yang harus ditempuh virus dari saraf tepi ke saraf pusat. Gejala awal dapat berupa demam dan kesemutan di lokasi paparan. Gejala ini diikuti oleh satu atau beberapa gejala-gejala berikut: mual, muntah, kejang-kejang, eksitasi yang tidak terkendali, ketakutan terhadap air (hidrofobia), ketidakmampuan untuk menggerakkan bagian tubuh, kebingungan, dan kehilangan kesadaran. Begitu virus mencapai otak dan memicu gejala saraf, penderita rabies hampir selalu mengalami kematian, apapun perawatan dan pengobatannya.

    Secara epidemiologis, terdapat dua siklus , yaitu rabies urban yang bersirkulasi di tengah masyarakat dengan hewan domestik sebagai reservoir utama dan silvatik yang bersirkulasi di alam liar dengan satwa liar sebagai reservoir utama. Di negara-negara dengan urban, lebih dari 99% kasus rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing. Di Benua Amerika, gigitan kelelawar merupakan sumber infeksi yang paling banyak dilaporkan, sedangkan gigitan anjing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus.

    Program pengendalian , terutama dengan vaksinasi anjing, telah menurunkan risiko yang bersumber dari anjing di berbagai wilayah di dunia. Imunisasi dianjurkan bagi individu berisiko tinggi, misalnya orang-orang yang pekerjaannya melibatkan anjing dan kelelawar atau orang yang menghabiskan waktu yang lama di wilayah-wilayah dengan kasus  yang tinggi. Pada orang yang diduga telah terpapar virus , mencuci luka gigitan dan cakaran selama 15 menit dengan sabun dan air, iodin povidon, atau detergen dapat mengurangi jumlah partikel virus dan mungkin dapat meminimalkan risiko penularan. Pemberian vaksin rabies dan terkadang imunoglobulin dapat mencegah penyakit ini secara efektif jika intervensi tersebut dilakukan sebelum gejala rabies muncul.

    Rabies ditemukan di semua benua, kecuali Antartika. Penyakit ini menyebabkan sekitar 59.000 kematian di seluruh dunia per tahun. Lebih dari 95% kematian tersebut terjadi di Afrika dan Asia dan sekitar 40% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun. Sejumlah negara, termasuk Australia dan Jepang, serta sebagian besar Eropa Barat, tidak memiliki kasus rabies urban pada anjing. Banyak pulau-pulau di Samudra Pasifik tidak memiliki kasus rabies sama sekali

     

    Penyebab

    Rabies disebabkan oleh virus rabies (nama ilmiah: Lyssavirus rabies), sebuah spesies virus yang digolongkan dalam filum Negarnaviricota, kelas Monjiviricetes, ordo Mononegavirales, keluarga Rhabdoviridae, dan genus Lyssavirus. Virus ini dikelompokkan dalam grup V dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus RNA untai tunggal dengan sense negatif. Karakter Rhabdoviridae yaitu beramplop, berbentuk seperti peluru, dan memiliki panjang 180 nm dan diameter 75 nm. Selain virus (RABV), anggota Lyssavirus lainnya juga dapat mengakibatkan penyakit pada kelelawar yang serupa dengan rabies.

     

    Hewan peka

    Inang bagi virus rabies adalah mamalia. Berdasarkan siklus epidemiologinya, rantai penularan rabies digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu urban dan silvatik. Rabies bentuk urban bersirkulasi di tengah masyarakat dengan hewan domestik, terutama anjing, sebagai reservoir utama. Siklus ini ditemukan di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Sementara itu, rabies bentuk silvatik merupakan rabies yang bersirkulasi di alam liar, dengan hewan seperti kelelawar, rakun, dan rubah sebagai reservoir utama. Rabies silvatik ditemukan di Amerika Utara dan Australia. Kombinasi keduanya juga bisa terjadi di beberapa wilayah di dunia

     

    Penularan

     

    Hewan penular rabies

    Walaupun semua mamalia rentan terhadap , tetapi hanya sejumlah hewan yang dapat menularkan virus . Kelompok ini disebut hewan penular (HPR). Jenis HPR bervariasi pada berbagai letak geografis, misalnya HPR di Amerika Utara ialah rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga; di Amerika Selatan yaitu anjing dan kelelawar vampir; di Eropa yaitu rubah dan kelelawar; di Afrika yaitu anjing, garangan, dan antelop; di Timur Tengah yaitu serigala dan anjing, dan di Asia yaitu anjing. Secara garis besar, hewan pemakan daging (ordo karnivora) dan kampret (subordo microchiroptera) merupakan reservoir virus yang umum di seluruh dunia. Sementara jenis hewan yang dikategorikan sebagai HPR di Indonesia yaitu anjing, kucing, kera, dan hewan sebangsanya (anggota ordo karnivora dan primata).

     

    Cara penularan

    Dalam tubuh individu terinfeksi, virus ditemukan di air liur serta jaringan otak dan jaringan saraf.  Individu lain yang sehat dapat terinfeksi saat virus rabies masuk ke dalam tubuhnya melalui kulit yang terluka atau membran mukosa di mata, hidung, dan mulut. Cara penularan yang paling sering terjadi adalah gigitan hewan terinfeksi. Di Indonesia, sebagian besar penularan rabies pada manusia terjadi akibat gigitan anjing (98%) dan sisanya oleh kera dan kucing. Selain gigitan, virus juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui luka cakaran hewan apabila pada cakar hewan terdapat air liur yang mengandung virus. Partikel virus dapat ditemukan pada air liur sejak beberapa hari sebelum hewan menunjukkan tanda klinis rabies.

    Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan secara aerosol dengan cara menghirup udara yang tercemar virus . Pada tahun 1962 dilaporkan kasus rabies pada dua orang penjelajah gua setelah mereka memasuki Gua Frio di Texas, Amerika Serikat yang ditempati kelelawar terinfeksi.  Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.

    Hingga saat ini belum ada bukti bahwa konsumsi hewan terinfeksi dapat menyebabkan penyakit rabies. Namun, orang yang menyembelih dan mengolah anjing dan kucing untuk dimakan dapat terinfeksi rabies. Secara terpisah, dua orang di Vietnam tertular setelah masing-masing mengolah anjing yang telah mati karena kecelakaan lalu lintas dan kucing yang sedang sakit. Beberapa pekan setelahnya, kedua orang ini meninggal dunia dengan hasil uji molekuler (PCR) positif . Orang lain yang mengonsumsi daging anjing dan daging kucing yang telah dimasak tetap sehat

     

    Gejala dan tanda klinis

    Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh, penyakit rabies berjalan melalui lima fase atau stadium: (1) masa inkubasi (2) fase prodromal; (3) fase neurologis; (4) koma; dan (5) kematian. pendapat lain membagi fase penyakit rabies menjadi tiga, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis

    Masa inkubasi 

    Lamanya masa inkubasi (periode sejak virus masuk ke dalam tubuh hingga timbulnya manifestasi klinis) cukup bervariasi, tergantung pada jumlah virus yang masuk melalui luka, jumlah dan kedalaman luka, jarak luka dengan susunan saraf pusat, dan perlakuan luka setelah gigitan. Pada manusia, masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari hingga beberapa tahun (pada umumnya 2–3 bulan; sekitar 2–3% kasus memiliki masa inkubasi diatas 1 tahun, dengan kasus spesial di atas 8 tahun).Sebagian besar hewan terinfeksi akan menunjukkan tanda rabies dalam 6 bulan setelah terpapar virus sehingga Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) menetapkan 6 bulan sebagai masa inkubasi penyakit rabies pada hewan

     

    Fase prodromal

    Pada fase prodromal (awal), gejala yang timbul tidak khas dan menyerupai infeksi pada umumnya seperti demam, gangguan pencernaan, dan mialgia.

     

    Fase neurologis

    Pada fase ini, tanda-tanda gangguan saraf mulai terlihat. Penyakit rabies—baik pada manusia maupun hewan—dapat termanifestasi dalam bentuk ganas (furious rabies), bentuk paralitik (dumb rabies), maupun bentuk non klasik sebagaimana berikut:

    • Bentuk ganas terjadi pada sekitar 85% kasus yang ditandai dengan ensefalitis. Penderita mungkin kejang dan menunjukkan ketakutan pada air (hidrofobia) dan pada udara (aerofobia). Hidrofobia terutama timbul akibat rasa sakit dan kejang saat hendak menelan air. Selain gejala saraf, penderita bisa menjadi agresif, hiperaktif, dan hipersalivasi.
    • Bentuk paralisis terjadi pada kurang dari 20% kasus. Penderita mengalami kelumpuhan, kelemahan umum, dan gangguan mental.
    • Bentuk yang dianggap non klasik jarang terjadi. Umumnya terkait dengan kejang dan gejala motorik dan sensorik yang lebih dalam.

     

    Koma dan kematian

    Koma biasanya dimulai 10 hari setelah fase sebelumnya. Penderita mungkin mengalami hidrofobia berkelanjutan, periode apnea berkepanjangan, dan kelumpuhan yang lembek. Setelah koma, sebagian besar pasien akan mati dalam 2–3 hari tanpa perawatan suportif akibat gagal jantung. Dengan perawatan suportif, hampir nol pasien yang mampu selamat dari rabies.

    Penelitian di Bali pada 122 kasus gigitan HPR menunjukkan bahwa lokasi gigitan anjing rabies terbanyak ditemukan di kaki (52%), tangan (32%), badan (6%), dan kepala (4%). Rerata kematian timbul setelah 19 hari pada gigitan wajah, 83 hari pada badan, 122 hari pada tangan, dan 166 hari pada kaki. Makin dekat lokasi gigitan dengan kepala, maka semakin cepat waktu kematian setelah gigitan

    Diagnosis

    Diagnosis terhadap hewan dan manusia yang diduga menderita perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menentukan penanganan selanjutnya. Metode standar untuk mendiagnosis penyakit ini adalah uji antibodi fluoresen (FAT), suatu uji berbasis imunohistokimia yang direkomendasikan oleh WHO. Prinsipnya adalah ikatan antara antigen dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi. Spesimen yang dibutuhkan oleh pengujian ini adalah otak. Oleh karena itu, FAT tidak bisa diterapkan terhadap individu yang masih hidup. Hewan yang diduga terinfeksi virus akan disuntik mati terlebih dahulu (euthanasia) untuk mendapatkan spesimen otak.

    Metode pengujian lain dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali diagnosis pasca mati setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal

    Penanganan

    Orang yang digigit anjing harus mewaspadai kemungkinan tertular , terutama di daerah endemik. Kewaspadaan juga dilakukan saat digigit atau dicakar HPR lainnya. Sebisa mungkin hewan yang menyerang ditangkap dan diamankan untuk pengamatan lebih lanjut. Penanganan pertama setelah digigit anjing adalah mencuci luka bekas gigitan dengan sabun atau deterjen di bawah air mengalir selama 15 menit, diikuti pemberian etanol (700 ml/l), cairan iodin povidon, atau zat lain yang bersifat virusidal.

    Perawatan yang diberikan setelah terpapar atau terpajan—disebut dengan profilaksis pasca pajanan—bergantung pada jenis kontak dan kondisi luka yang ditimbulkan. WHO mengelompokkan tiga kategori paparan terhadap rabies untuk menentukan tindakan selanjutnya yang akan diambil.

    Periode observasi selama 10 hari hanya berlaku untuk anjing dan kucing. Jenis hewan lain sebaiknya langsung dieutanasia (kecuali bila termasuk satwa langka atau dilindungi) lalu diambil spesimen jaringannya untuk deteksi antigen rabies melalui uji laboratorium. Gigitan di daerah kepala, leher, wajah, tangan, dan genital dianggap paparan kategori III karena daerah tersebut memiliki banyak inervasi saraf.

     

    Vaksinasi pasca pajanan

    Bagi orang dewasa dan anak-anak, vaksin disuntikkan di daerah deltoideus; bagi anak berusia di bawah 2 tahun, suntikan dilakukan di sisi anterolateral (samping depan) paha.Penyuntikan secara intradermal lebih direkomendasikan dibanding intramuskular. Bagi orang yang belum pernah diberi vaksin sebelumnya, vaksinasi secara intradermal dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada hari ke-0, ke-3, dan ke-7; masing-masing disuntikkan pada dua lokasi yang berbeda. Bagi orang yang pernah disuntik dengan minimum dua dosis vaksin , vaksinasi pasca pajanan cukup diberikan pada hari ke-0 dan hari ke-3 di satu lokasi, atau hanya pada hari ke-0 di empat lokasi.

    Sebagai alternatif, penyuntikan vaksin secara intramuskular juga dapat dilakukan. Bagi orang yang belum pernah divaksin, penyuntikan vaksin intramuskular bisa dilakukan dengan dua cara: (1) Empat kali suntikan pada hari ke-0, ke-3, ke-7, dan ke-14; masing-masing di satu lokasi, dan (2) Tiga kali suntikan, yaitu pada hari ke-0 (dua lokasi), hari ke-7 (satu lokasi), dan hari ke-21 hingga ke-28 (dua lokasi). Bagi orang yang telah mendapatkan kekebalan melalui dua dosis vaksin , vaksinasi intramuskuler cukup diberikan pada hari ke-0 dan hari ke-3, masing-masing di satu lokasi

     

    Pemberian imunoglobulin rabies

    Selain vaksin rabies, orang-orang dengan pajanan kategori III wajib diberikan immunoglobulin rabies. Pemberian obat ini juga dilakukan untuk orang dengan pajanan kategori II yang memiliki gangguan sistem imun, misalnya pasien AIDS dan transplantasi organ. Orang yang telah mendapatkan kekebalan terhadap rabies tidak perlu diberikan immunoglobulin rabies. Imunoglobulin rabies berfungsi untuk memberikan kekebalan pasif sebelum tubuh pasien membentuk antibodi sebagai respons terhadap vaksinasi.

    Imunoglobulin rabies disuntikkan pada lokasi gigitan dan di sekitar lokasi gigitan untuk menetralkan virus yang berada di lokasi tersebut.Pemberiannya hanya dilakukan satu kali, bersamaan dengan vaksinasi pasca pajanan atau beberapa hari sesudahnya. Setelah tujuh hari pasca vaksinasi, pemberian imunoglobulin tidak disarankan karena tubuh telah mulai membentuk antibodi

     

    Pencegahan

    Meskipun sifatnya sangat mematikan, bisa dicegah dengan pemberian vaksinasi. Penyuntikan vaksin pada hewan merupakan kunci untuk memberantas penyakit ini. Orang-orang yang berisiko tinggi terpapar virus juga dapat diberi vaksin, seperti dokter hewan, petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan terinfeksi, Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah endemik .

    Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. Namun, seiring berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun.Pentingnya vaksinasi terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara pencegahan yang harus diperhatikan.

    Distribusi

    Rabies ditemukan di seluruh dunia, kecuali Antartika, dengan 95% kematian pada manusia terjadi di Asia dan Afrika. Setiap tahun, hampir 59.000 orang meninggal dunia akibat rabies.Gigitan anjing berkontribusi terhadap 99% kasus pada manusia dan sekitar 40% orang yang digigit anjing terduga merupakan anak berusia di bawah 15 tahun

     

    Sejarah

    Kata rabies berasal dari bahasa Sansekerta kuno “rabhas” yang artinya melakukan kekerasan atau kejahatan. Dalam bahasa Yunani, disebut “lyssa” atau “lytaa” yang artinya kegilaan. Dalam bahasa Jerman, rabies disebut “tollwut” yang berasal dari bahasa Indo-Jermanik “dhvar” yang artinya merusak dan “wut” yang artinya marah.Dalam bahasa Prancis, disebut “rage” berasal dari kata benda “robere” yang artinya menjadi gila.

    Rabies merupakan penyakit yang telah lama tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshnunna yang ditulis sekitar tahun 2300 SM. Sekitar 500 SM, Demokritos juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.

    Pada abad ke-4 SM, Aristoteles menulis pada Natural History of Animals edisi 8, bab 22:

    anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi lekas marah dan semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama.

    Hippocrates, Plutarkhos, Xenophon, Epimachus, Virgil, Horatius, dan Ovidius adalah orang-orang yang pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya.Celsius, seorang dokter pada zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing pada tahun 100 Masehi.Cardanus, seorang penulis zaman Romawi menjelaskan infektivitas air liur anjing yang terkena rabies. Para penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan materi infeksius tersebut sebagai racun, di mana “virus” adalah kata Latin bagi racun.

    Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yaitu cacing lidah anjing (dog tongue worm). Untuk mencegah rabies pada masa itu, permukaan lidah yang diduga mengandung cacing dipotong. Anggapan tersebut bertahan sampai abad ke-19, ketika akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan jaringan otak yang terinfeksi pada tahun 1885.  Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958, yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens langsung (direct immunofluorescence antibody) untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.

    Hari Rabies Sedunia

    Hari Rabies Sedunia (bahasa Inggris: World Rabies Day atau WRD) merupakan hari penting internasional yang diselenggarakan pada tanggal 28 September setiap tahun. Peringatan Hari Rabies Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit rabies dan pentingnya memberantas penyakit ini.

    Hari Rabies Sedunia mulai diselenggarakan pada tahun 2007. Secara umum, pelaksanaan WRD dilakukan dengan sosialisasi kepada masyarakat dan vaksinasi rabies terhadap hewan, terutama anjing. Tujuan yang ingin dicapai oleh kampanye ini adalah memastikan anjing divaksin, membantu masyarakat yang membutuhkan profilaksis pasca pajanan, dan menjadikan dunia bebas dari penyakit rabies pada tahun 2030